Lidikkasus.com,Pekanbaru – Advokat adalah seseorang yang bekerja untuk memberikan bantuan atau jasa hukum yang lebih dalam dan lanjut kepada publik. Tentu saja, jasa hukum tersebut akan diberikan ketika seseorang memiliki agenda hukum baik perdata hingga pidana.
Sebagai penyandang Profesi Mulia “Officium Nobile” jangan sampai seorang advokat memiliki tujuan utamanya adalah uang dan mencari kekayaan melalui profesi advokat tersebut.
Karena jika seorang advokat memilki tujuan utamanya adalah uang dan mencari kekayaan maka bila suatu saat nanti ada yang butuh bantuan hukum dan tidak memiliki biaya maka dengan segala alasan akan ditolak oleh advokat tersebut.
Dan ini sudah jelas melanggar sumpah yang pernah diucapkan pada saat awal diangkat menjadi advokat di pengadilan tinggi tempat advokat berdomisili “Bahwa saya tidak akan menolak untuk melakukan pembelaan atau memberi jasa hukum di dalam suatu perkara yang menurut hemat saya merupakan bagian dari pada tanggung jawab profesi saya sebagai seorang advokat.
Karena advokat dalam menjalankan tugas dan kewajibannya adalah sebagai profesi yang bebas dan mandiri. Advokat sering dikenal dengan istilah Officium Nobile yang artinya profesi Advokat adalah profesi yang mulia.
Officum Nobile ini sangat erat kaitannya dengan Etika dan Profesi dari Advokat itu sendiri seperti diketahui menurut Darji Darmodiharjo dan Shidarta profesi yang disebut dengan Officium Nobile bukan hanya Advokat saja tetapi juga ada Hakim, Jaksa Penuntut Umum (JPU), Notaris, dan Polisi.
Officium Nobile di sini adalah yang menjadi landasan etik untuk berbagai profesi tersebut di atas tadi, yang mana dalam setiap perbuatan akan pengambilan keputusannya profesi tersebut harus selalu mendengarkan “suara hatinya” itu yang disebut dengan Romo Magnis-Suseno (1992:53). Kesadaran moral diri kita sendiri (ourselves) terhadap permasalah konkret yang ada.
Di Indonesia sendiri yang merupakan negara hukum berdasarkan Pasal 1 Ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD NRI 1945), menjunjung tinggi supremasi hukum, baik pada wilayah teoritis (hukum tertulis dan hukum tidak tertulis) maupun wilayah praktis (penerapan secara litigasi dan non-litigasi) menjadi keniscayaan untuk diperhatikan demi terwujudnya pembangunan hukum yang berkemanusiaan dan berkeadilan yang beradab.
Permasalahan sosial yang kerap terjadi baik yang berupa perbuatan pidana (delict), persoalan keperdataan, dan Tata Usaha Negara (Administrasi) akan selalu diselesaikan dengan menggunakan kaca mata hukum sebagai solusi terakhir akan di tempuh melalui pengadilan.
Proses hukum menjadi ajang beradu teknik dan keterampilan. Siapa yang lebih pandai memahami hukum serta kepiawaian memainkan strategis demi kepentingan hukum dari klien, maka merekalah yang akan keluar sebagai pemenang dalam suatu perkara.
Tak dipungkiri, persoalan-persoalan yang timbul seperti inilah yang begitu erat dengan peran satu di antara bagian dari Penegak Hukum (Law Enforcer) yang disebut dengan Advokat.
Mengutip dari Kamus Besar Bahasa Indonesia Daring Advokat adalah ahli hukum yang berwenang sebagai penasihat atau pembela perkara dalam pengadilan atau yang umum kenal dengan sebutan pengacara.
Secara etimologis “advokat” sendiri berasal dari bahasa latin “Advocare” yang berarti to defend, to call to one’s aid, to vouch or to warrant.
Dalam bahasa inggris akhirnya dikenal dengan Advocate yang berarti to speak in favour of or defend by argument, to support, indicate or recommended publicly (Yahman dan Nurtin Tarigan:2019)
Advokat di sini artinya memiliki peran penting dalam membangun konstruksi hukum yang dituangkan dalam bentuk pemberian advice atau service terhadap kepentingan hukum (Legal Interest) terhadap kliennya untuk memperoleh keadilan, kemanfaatan, dan kepastian hukum itu sendiri.
Pada zaman modern seperti sekarang ini tidak sedikit kejahatan yang kerap kali terjadi motifnya karena keadaan ekonomi, sosial, dan determistik moral yang dipengaruhi oleh lingkungannya.
Seiring dengan banyak tindak pidana ini jelas itu membuat kehidupan bermasyarakat pun menjadi terganggu dalam tatanan hidup secara luas.
Permasalahan hukum pun akhirnya sering terjadi dari hari lepas hari, peran Advokat pun menjadi semakin penting di sini.
Mengingat bahwa kedudukan Advokat sama pentingnya dengan aktor penegak hukum lainnya dalam Sistem Peradilan Pidana (Criminal Justice System) seperti Kepolisian (Penyelidik dan Penyidik), Jaksa Penuntut Umum, dan Hakim.
Idealnya profesi Advokat senantiasa membela kepentingan rakyat tanpa membeda-bedakan latar belakang agama, budaya, warna kulit, tempat tinggal, tingkat ekonomi, gender, dan lain sebagainya sebagaimana Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat serta Kode Etik Advokat.
Oleh karenanya, penting untuk kembali melihat bagaimana advokat mengimplementasikan officium nobile dalam proses penegakan hukum di indonesia menjadi sangat penting untuk mewujudkan cita-cita keadilan, kemanfaatan, dan kepastian hukum itu bagi seluruh warga negara indonesia termasuk mereka yang miskin merupakan perwujudan penegakan hukum yang berbasis pada Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UU NRI 1945).
Penetapan terhadap profesi yang mulia ini dengan menghargai Advokat pun dalam sejarahnya baru diakui pada zaman Romawi Kuno di mana Kaisar Claudis saat itu pun menghapus larangan pengenaan biaya dan mengesahkan peran advokasi sebagai sebuah profesi yang diakui dan mengizinkan para pengacara Romawi kala itu menjadi pengacara pertama yang dapat berpraktik secara terbuka tetapi ia juga tetap memberlakukan batas biaya sebesar 10.000 sesterces yang dapat dikenakan terhadap masyarakat. (John A. Crook: 1967)
Definisi Advokat sendiri di Indonesia adalah orang yang berprofesi memberi jasa hukum, baik di dalam maupun di luar pengadilan yang memenuhi persyaratan berdasarkan ketentuan Undang-Undang.
Definisi itu dipertegas juga dalam Kode Etika Profesi Advokat dengan memberikan definisi Advokat adalah orang yang berpraktik memberi jasa hukum, baik di dalam maupun di luar pengadilan yang memenuhi persyaratan berdasarkan undang-undang yang berlaku, baik sebagai Advokat, Pengacara, Penasihat Hukum, Pengacara praktik ataupun sebagai konsultan hukum.
Sejak disahkannya pada tanggal 5 April 2003, sejak itu Advokat pun memiliki definisi berdasarkan undang-undang. Mengingat bahwa sebelum lahirnya undang-undang No 18 Tahun 2003 tentang Advokat dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana tidak mengenal adanya istilah Advokat, yang ada ialah Penasihat Hukum.
Penasihat hukum adalah seorang yang memenuhi syarat yang ditentukan oleh atau berdasar undang-undang untuk memberi bantuan hukum.
Sebagaimana Pasal 54 Undang-undang No.8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana mengatur juga mengenai peran dari penasihat hukum ini yang menyatakan bahwa tersangka atau terdakwa berhak mendapatkan bantuan hukum dari seorang atau lebih penasihat hukum guna kepentingan pembelaan.
Dalam rangka menyadarkan hak konstitusional yang dimiliki oleh setiap warga negara Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 D Ayat (1). Hak konstitusional yang dimiliki oleh setiap warga negara dijamin oleh Undang-Undang dan berlaku bagi orang yang mampu dan fakir miskin.
Hak membela oleh advokat juga dijamin dalam Universal Declaration of Human Right (ICCPR) yang kemudian diratifikasi ke dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2005 dan Basic Prrinciples on the Role of Lawyer Tahun 1990.(Team LLK)
Penulis: Soni,S.H